1. Khulafa'ur
Rasyidin di Madinah
·
Abu Bakar (632 - 634)
·
Umar bin Khattab (634 - 644)
·
Utsman bin Affan (644 - 656)
·
Ali bin Abi Talib (656 - 661) |
Daftar Khalifah
Argumentasi tentang Pentingnya Khalifah
Dalil al-Qur'an
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian". (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha, berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
"Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu". (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
"Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian". (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha, berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
"Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu". (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
"Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.
Dalil as-Sunnah tentang Khalifah
- Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
- Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
- Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
- Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
- Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.
Dalil Ijma’ Sahabat
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."[rujukan?] Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan haram apalagi bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun ada pula buku yang menyatakan bahwa kekhalifahan tidak wajib hukumnya, seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."[rujukan?] Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan haram apalagi bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun ada pula buku yang menyatakan bahwa kekhalifahan tidak wajib hukumnya, seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
Nama-nama Sahabat Nabi
A
Abbad bin Bishir
Bilal bin al-Harits
Abbas bin Abdul-Muththalib
Abdullah bin Aamir
Abdullah bin Abbas
Abdullah bin Abdul-Asad
Abdullah bin Hudhafah as-Sahmi
Abdullah bin Ja'far
Abdullah bin Jahsy
Abdullah bin Mas'ud
Abdullah bin Rawahah
Abdullah bin Salam
Abdullah bin Ubay
Abdullah bin Umar
Abdullah bin Ummi-Maktum
Abdullah bin Zubair
Abdurrahman bin Abi Bakar
Abdurrahman bin Auf
Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam
Abu al-Dardaa
Abu Ayyub al-Ansari
Abu Ayyub al-Anshari
Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Dujana (sahabat nabi)
Abu Dzar Al-Ghifari
Abu Fuhayra
Abu Hudhaifah bin al-Mughirah
Abu Hudhayfah bin Utbah
Abu Hurairah
Abu Lubaba bin Abd al-Mundzir
Abu Musa al-Ashari
Abu Qatadah
Abu Sa'id al-Khudri
Abu Sufyan
Abu Sufyan bin Harits
Abu Thalib
Abu Ubaidah bin al-Jarrah
Al-Abaadilah
Al-Ala'a Al-Hadrami
Al-Baraa bin Malik al-Ansari
Al-Khansa
Ali bin Abi Thalib
Aminah binti Wahab
Ammar bin Yasir
Amru bin al-Jamuh
Amru bin Ash
An-Numan bin Muqarrin
Anas bin Malik
Aqil bin Abi Thalib
|
B
Barkah binti Tsa’labah
Bashir bin Sa'ad
Bilal bin Rabah
F
Fadl bin Abbas
Fatimah binti Asad
Fayruz al-Daylami
H
Hakim bin Hazm
Halimah As-Sa'diyah
Hamzah bin Abdul-Muththalib
Hatib bin Abi Baitah
Hindun binti Abi Umayyah
Hudhayfah bin al-Yaman
I
Ikrimah bin Abu Jahal
J
Ja'far bin Abi Thalib
K
Khadijah binti Khuwailid
Khubaib bin Adi
Khuzaimah bin Tsabit
L
Lubabah binti al-Harith
M
Miqdad bin Aswad
Mu'adz bin Jabal
Muawiyah bin Abu Sufyan
Muhammad bin Abu Bakar
Mush’ab bin ‘Umayr
Q
Qotzman
R
Rabi'ah bin Harits
Pengguna:Riemogerz/Halaman
pengguna/daftar artikel yang perlu dikembangkan
Rifa’ah bin Zaid
|
S
Sa'ad bin Abi Waqqas
Sa'ad bin Muadz
Said bin Amir al-Jumahi
Said bin Zayd bin Amru
Salim Mawla Abu Hudhayfah
Salman al-Farisi
Sa’id bin Al-Ash
Shafiyah binti Huyay
Suhayb Ar-Rummi
Sumayyah binti Khayyat
Syurahbil bin Hasanah
T
Thalhah bin Ubaidillah
Thalib bin Abu Thalib
U
Ubaidah bin Harits
Ubay bin Ka'ab
Umar bin Khattab
Ummi Kultsum binti Ali
Ummi Kultsum binti Jarwila Khuzima
Ummi Syarik
Ummi Ubays
Usamah bin Zaid bin Haritsah
Usayd bin Hudhayr
Utsman bin Affan
Utsman bin Mazh'un
Uwais al-Qarny
W
Wahsyi
Khalid bin Walid
Waraqah bin Naufal
Y
Yasir bin Amir
Yazid bin Abu Sufyan
Z
Zaid bin Haritsah
Zaid bin Tsabit
Zubair bin Awwam
|
Ali bin Abi Thalib
‘Alī bin Abī Thālib (lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661), adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang KhandaqPerang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnyaHampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Utsman bin Affan
Utsman bin Affan dilahirkan pada tahun 573 M pada sebuah keluarga dari suku Quraisy bani Umayah. Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi Muhammad saw. pada generasi ke-5. Sebelum masuk islam ia dipanggil degan sebutan Abu Amr. Ia begelar Dzunnurain, karena menikahi dua putri Nabi saw. (menjadi khalifah 644-655 M) adalah khalifah ke-3 dalam sejarah Islam. Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Utsman bin Affan berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’, meskipun Utsman tercatat paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Utsman bin Affan berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’, meskipun Utsman tercatat paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Umar Bin Khattab
Umar bin Khattab (586-590 - 644 M, menjadi khalifah 634 - 644 M) adalah khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. pengangkatan umar bukan berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan berarti di kalangan umat islam saat itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar sebagai orang yang paling dekat dan paling setia membela ajaran Islam. Hanya segelintir kaum, yang kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap berpendapat bahwa seharusnya Ali yang menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh tahun dari tahun 634 hingga 644.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria, sekarang Istanbul), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar bin Khatthab memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang Zoroastrianis, budak Fanatik dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria, sekarang Istanbul), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar bin Khatthab memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang Zoroastrianis, budak Fanatik dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Abu Bakar As-Shidiq
Abu Bakar ash-Shiddiq (573 - 634 M, menjadi khalifah 632 - 634 M) lahir dengan nama Abdus Syams, "Abu bakar" adalah gelar yang diberikan masyarakat muslim kepadanya. Nama aslinya adalah !Abdullah bin Abi Kuhafah". Ia mendapat gelar "as-Shiddiq! setelah masuk islam. Nama sebelum muslim adalah "Abdul Ka'bah". Ibunya bernama "Salma Ummul Khair", yaitu anak paman "Abu Quhafah". Abu Bakar adalah khalifah pertama Islam setelah kematian Muhammad. Ia adalah salah seorang petinggi Mekkah dari suku Quraisy. Setelah memeluk Islam namanya diganti oleh Muhammad menjadi Abu Bakar. Ia digelari Ash- Shiddiq yang berarti yang terpercaya setelah ia menjadi orang pertama yang mengakui peristiwa Isra' Mi'raj.
Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh Muhammmad untuk menemaninya hijrah ke Yatsrib. Ia dicatat sebagai salah satu Sahabat Muhammad yang paling setia dan terdepan melindungi para pemeluk Islam bahkan terhadap sukunya sendiri.
Ketika Muhammad sakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya untuk menggantikannya menjadi Imam dalam Salat. Hal ini menurut sebagian besar ulama merupakan petunjuk dari Nabi Muhammad agar Abu Bakar diangkat menjadi penerus kepemimpinan Islam, sedangkan sebagian kecil kaum Muslim saat itu, yang kemudian membentuk aliansi politik Syiah, lebih merujuk kepada Ali bin Abi Thalib karena ia merupakan keluarga Nabi. Setelah sekian lama perdebatan akhirnya melalui keputusan bersama umat islam saat itu, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin pertama umat islam setelah wafatnya Muhammad. Abu Bakar memimpin selama dua tahun dari tahun 632 sejak kematian Muhammad hingga tahun 634 M.
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah ibn Zaid yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh Muhammmad untuk menemaninya hijrah ke Yatsrib. Ia dicatat sebagai salah satu Sahabat Muhammad yang paling setia dan terdepan melindungi para pemeluk Islam bahkan terhadap sukunya sendiri.
Ketika Muhammad sakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya untuk menggantikannya menjadi Imam dalam Salat. Hal ini menurut sebagian besar ulama merupakan petunjuk dari Nabi Muhammad agar Abu Bakar diangkat menjadi penerus kepemimpinan Islam, sedangkan sebagian kecil kaum Muslim saat itu, yang kemudian membentuk aliansi politik Syiah, lebih merujuk kepada Ali bin Abi Thalib karena ia merupakan keluarga Nabi. Setelah sekian lama perdebatan akhirnya melalui keputusan bersama umat islam saat itu, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin pertama umat islam setelah wafatnya Muhammad. Abu Bakar memimpin selama dua tahun dari tahun 632 sejak kematian Muhammad hingga tahun 634 M.
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah ibn Zaid yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Hadits Ghadir Khum
Diriwayatkan dari Al-Bara' bin 'Aazib (RA), bahwasanya beliau berkata: Suatu hari kami bersama RasuluLlah (SAW) sedang dalam perjalanan, lalu kami singgah di Ghadir Khum, kemudian beliau memanggil kami unyuk sholat berjamaah, lalu kami membersihkan tempat diantara 2 pohon untuk RasuluLlah, dan sholat Dhuhur. Setelah Sholat RasuluLlah memegang tangan Ali bin Abi Thalib (RA) sambil bersabda: "Tidakkah kalian tahu bahwa aku ini lebih utama dari orang-orang mu'min dari diri mereka sendiri?" para sahabat menjawab, "Benar! (Ya RasuluLlah)", kemudian beliau melanjutkan sabdanya, "Tidakkah kalian tahu bahwa aku lebih utama dari tiap-tiap orang mu'min dibandingkan diri mereka sendiri?", mereka menjawab, "Benar!" Kemudian RasuluLlah memegang tangan Ali bin Abi Thalib (RA) sembari bersabda. "Orang-orang yang mengakui aku sebagai walinya, maka (kuangkat) Ali sebagai wali. Ya Allah! dukunglah orang-2 yg mendukung Ali dan musuhilah org-2 yg memusuhinya." Al-Bara' bin 'Azib melanjutkan ucapannya, Kemudian Umar menemui Ali dan mengucapkan, "Selamat wahari ibnu Abi Thalib, engkau telah menjadi wali setiap mu'min dan mu'minah!"
TAKHRIJ HADITS
TAKHRIJ HADITS
- Dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (RHM) dalam Musnad-nya juz I hal 118 dan juz IV hal 281.
- Dikeluarkan pula oleh Beliau (Imam Ahmad) dalam Fadha'ilush Shahabah (Tahqiq Ibnu Muhammad Abbas) juz II hal 563-596, Muhaqqiq Ibnu Muhammad Abbas menshahihkan hadits ini.
- Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (RHM) dalam Sunan-nya juz I hal 43
- Dikeluarkan oleh Imam Al-Hakim (RHM) dalam Mustadrak 'ala ash-Shahihayn juz III/110
- Dikeluarkan oleh Imam At-Turmudzi (RHM) dalam Sunannya juz V/297
- Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi 'Ashim (RHM) dalam As-Sunnah II/604-607
- Dikeluarkan oleh Imam Abu Bakar ibn Abi Syaibah dalam Musnadnya
- Dikeluarkan oleh Imam An-Nasaa'i dalam Khash-ish Ali bin Abi Thalib hal 72
TA'LIQ ULAMA'
- Al-Allamah Al-Hafidz Adz-Dzahabi (RHM) berkomentar dalm kitabnya Tadzkiratul Huffazh juz III hal. 829, "Imam Ath-Thobari menulis thuruq hadits Ghadir Khum dalam 4 juz shg membuat saya terkagum-kagum akan keluasan ilmu riwayahnya, sehingga saya yakin bahwa kisah ini benar terjadi."
- Al-Allamah Al-Imam Al-Muhaddits Al-Ashr, Syaikhuna Muhammad Nashiruddin Al-Albani (RHM) telah mengumpulkan thuruqul hadits ini dan mentash-hihnya dalam kitab beliau, Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah juz IV hal. 330, hadits nomor 1750.
NOTE : Bagi yang ingin mengetahui tentang syarh hadits ini dan bantahan thd dakwaan syiah mengenai hadits ini, bisa dirujuk dalam kitab : Minhajus Sunnah Syaikhul Islam, Minhaj I'tidal Adz-Dzahabi, Al-'Awashim minal Qawashim Ibnul Araby.
TANBIH (PERINGATAN)
Orang-2 Syiah (terutama Rafidhah yang sesat dan menyesatkan) berpandangan, bahwa hadist Ghadir Khum ini menyebutkan ta'yin RasuluLlah (SAW) kepada Ali bin Abi Thalib (RA) sebagai khalifah pasca beliau (SAW) dan sebagai penanggung jawab wahyu, mereka juga berpendapat Ali dibaiat pada saat peristiwa Ghadir Khum ini untuk memimpin orang-orang mu'min. Mereka juga berpendapat bahwa pada saat Ghadir Khum ini, Ali di ta'yin sebagai khalifah, turun firman Allah SubhanaHu waTa'ala, (yang terjemahannya) "Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu..." (Al-Maa'idah : 3), dan mengindikasikan bahwa agama telah sempurna pasca ta'yin Ali pada saat peristiwa Ghadir Khum ini, mereka menyandarkan mengenai turunnya firman Allah Ta'ala ini (Al-Maidah : 3) dengan hadits, "Allahu Akbar! atas kesempurnaan agama dan Rabb telah ridha dg risalahku dan wilayah (kekuasaan) Ali setelahku." (Hadits ini Dha'if jiddan dan munkar, ditakhrij oleh Ibnu Mardawaih dan Ibnu Asakir dengan sanad yang dhoif, serta lafadh dhohir hadits ini bertentangan dengan lafadh hadits yang shohih muttafaqun 'alaihi yg menyatakan ayat ini (Al-Maidah : 3) turun saat haji wada' RasuluLlah (SAW).
KESIMPULAN
Hadits ini dg berbagai thuruq dishahihkan oleh sebagian ulama' Ahlus Sunnah wal Jama'ah, namun bukan berarti hadits ini membenarkan dakwaan syiah yang sesat dan menyesatkan tentang baiat terhadap Ali (RA), Ta'yin akan wilayahnya dan cercaan terhadap Abu Bakar dan Umar (RadhiaLlahu 'anhuma) -Nas'aluLlaha salamah wal 'aafiyah- yang mereka tuduh merampas hak wilayah Ali (RA).
- Al-Allamah Al-Hafidz Adz-Dzahabi (RHM) berkomentar dalm kitabnya Tadzkiratul Huffazh juz III hal. 829, "Imam Ath-Thobari menulis thuruq hadits Ghadir Khum dalam 4 juz shg membuat saya terkagum-kagum akan keluasan ilmu riwayahnya, sehingga saya yakin bahwa kisah ini benar terjadi."
- Al-Allamah Al-Imam Al-Muhaddits Al-Ashr, Syaikhuna Muhammad Nashiruddin Al-Albani (RHM) telah mengumpulkan thuruqul hadits ini dan mentash-hihnya dalam kitab beliau, Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah juz IV hal. 330, hadits nomor 1750.
NOTE : Bagi yang ingin mengetahui tentang syarh hadits ini dan bantahan thd dakwaan syiah mengenai hadits ini, bisa dirujuk dalam kitab : Minhajus Sunnah Syaikhul Islam, Minhaj I'tidal Adz-Dzahabi, Al-'Awashim minal Qawashim Ibnul Araby.
TANBIH (PERINGATAN)
Orang-2 Syiah (terutama Rafidhah yang sesat dan menyesatkan) berpandangan, bahwa hadist Ghadir Khum ini menyebutkan ta'yin RasuluLlah (SAW) kepada Ali bin Abi Thalib (RA) sebagai khalifah pasca beliau (SAW) dan sebagai penanggung jawab wahyu, mereka juga berpendapat Ali dibaiat pada saat peristiwa Ghadir Khum ini untuk memimpin orang-orang mu'min. Mereka juga berpendapat bahwa pada saat Ghadir Khum ini, Ali di ta'yin sebagai khalifah, turun firman Allah SubhanaHu waTa'ala, (yang terjemahannya) "Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu..." (Al-Maa'idah : 3), dan mengindikasikan bahwa agama telah sempurna pasca ta'yin Ali pada saat peristiwa Ghadir Khum ini, mereka menyandarkan mengenai turunnya firman Allah Ta'ala ini (Al-Maidah : 3) dengan hadits, "Allahu Akbar! atas kesempurnaan agama dan Rabb telah ridha dg risalahku dan wilayah (kekuasaan) Ali setelahku." (Hadits ini Dha'if jiddan dan munkar, ditakhrij oleh Ibnu Mardawaih dan Ibnu Asakir dengan sanad yang dhoif, serta lafadh dhohir hadits ini bertentangan dengan lafadh hadits yang shohih muttafaqun 'alaihi yg menyatakan ayat ini (Al-Maidah : 3) turun saat haji wada' RasuluLlah (SAW).
KESIMPULAN
Hadits ini dg berbagai thuruq dishahihkan oleh sebagian ulama' Ahlus Sunnah wal Jama'ah, namun bukan berarti hadits ini membenarkan dakwaan syiah yang sesat dan menyesatkan tentang baiat terhadap Ali (RA), Ta'yin akan wilayahnya dan cercaan terhadap Abu Bakar dan Umar (RadhiaLlahu 'anhuma) -Nas'aluLlaha salamah wal 'aafiyah- yang mereka tuduh merampas hak wilayah Ali (RA).
Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad (SAW) setelah ia wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam
Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang bagaimana suksesi kepemimpinan Islam akan berlangsung. Namun penganut paham Syi'ah meyakini bahwa Muhammad dengan jelas menunjuk Ali bin Abi Thalib, khalifah ke-4 bahwa Muhammad menginginkan keturunannyalah yang akan meneruskan kepemimpinannya atas umat Islam, mereka merujuk kepada salah satu Hadits Ghadir Khum.
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi.
Ke empat Khalifa tersebut adalah...
1. Abu Bakar As-Shidiq
2. Umar bin Khattab
3. Utsman bin Affan
4. Ali bin Abi Thalib
2. Umar bin Khattab
3. Utsman bin Affan
4. Ali bin Abi Thalib
Asmaul Husna (nama-nama Allah)
- Ar Rahman (Maha Penyayang)
- Ar Rahim (Maha Mengasihi)
- Al Malik (Maha Menguasai)
- Al Quddus (Maha Suci)
- Al Salam (Maha Selamat Sejahtera)
- Al Mukmin (Maha Melimpahkan Keamanan)
- Al Muhaimin (Pengawal serta Pengawas)
- Al Aziz (Maha Berkuasa)
- Al Jabbar (Maha Kuat Yang Menundukkan Segalanya)
- Al Mutakabbir (Yang Melengkapi Segala kebesaranNya)
- Al Khaliq (Maha Pencipta)
- Al Bari (Maha Menjadikan)
- Al Musawwir (Maha Pembentuk)
- Al Ghaffar (Maha Pengampun)
- Al Qahhar (Maha Perkasa)
- Al Wahhab (Maha Pemberi Anugerah)
- Al Razzaq (Maha Pemberi Rezeki)
- Al Fattah (Maha Pembuka)
- Al Alim (Maha Mengetahui)
- Al Qabidh (Maha Pengekang)
- Al Basit (Maha Melimpahkan Nikmat)
- Al Khafidh (Maha Perendah / Pengurang)
- Ar Rafik (Maha Peninggi)
- Al Mu'izz (Menghormati / Memuliakan)
- Al Muzill (Maha Menghina)
- As Sami (Maha Mendengar)
- Al Basir (Maha Melihat)
- Al Hakam (Maha Mengadili)
- Al Adil (Maha Adil)
- Al Latif (Maha Lembut serta Halus)
- Al Khabir (Maha Mengetahui)
- Al Halim (Maha Penyabar)
- Al Azim (Maha Agung)
- Al Ghafur (Maha Pengampun)
- Asy Syakur (Maha Bersyukur)
- Al Ali (Maha Tinggi serta Mulia)
- Al Kabir (Maha Besar)
- Al Hafiz (Maha Memelihara)
- Al Muqit (Maha Menjaga)
- Al Hasib (Maha Penghitung)
- Al Jalil (Maha Besar serta Mulia)
- Al Karim (Maha Pemurah)
- Ar Raqib (Maha Waspada)
- Al Mujib (Maha Pengabul Do’a)
- Al Wasik (Maha Luas)
- Al Hakim (Maha Bijaksana)
- Al Wadud (Maha Penyayang)
- Al Majid (Maha Mulia)
- Al Baith (Maha Membangkitkan Semula)
- Asy Syahid (Maha Menyaksikan)
- Al Haqq (Maha Benar)
- Al Wakil (Maha Pentabir)
- Al Qawiy (Maha Kuat)
- Al Matin (Maha Teguh)
- Al Waliy (Maha Melindungi)
- Al Hamid (Maha Terpuji)
- Al Muhsi (Maha Penghitung)
- Al Mubdi (Maha Pencipta dari Asal)
- Al Muid (Maha Mengembalikan dan Memulihkan)
- Al Muhyi (Maha Menghidupkan)
- Al Mumit (Yang Mematikan)
- Al Hayyat (Yang Senantiasa Hidup)
- Al Qayyum (Yang Hidup serta Berdiri Sendiri)
- Al Wajid (Maha Penemu)
- Al Majid (Maha Mulia)
- Al Wahid (Maha Esa)
- Al Ahad (Yang Tunggal)
- As Samad (Yang Menjadi Tumpuan)
- Al Qadir (Maha Berupaya)
- Al Muqtadir (Maha Berkuasa)
- Al Muqaddim (Maha Menyegerakan)
- Al Muakhir (Maha Penangguh)
- Al Awwal (Yang Pertama)
- Al Akhir (Yang Akhir)
- Az Zahir (Yang Zahir)
- Al Batin (Yang Batin)
- Al Wali (Yang Memerintah)
- Al Muta Ali (Maha Tinggi serta Mulia)
- Al Barr (Yang banyak membuat kebajikan)
- At Tawwab (Yang Menerima Taubat)
- Al Muntaqim (Yang Menghukum pada yang Bersalah)
- Al Afuw (Yang Maha Pengampun)
- Ar Rauf (Maha Pengasih serta Penyayang)
- Malikul Mulk (Pemilik Kedaulatan Yang Kekal)
- Dzul Jalal Wal Ikram (Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan)
- Al Muqsit (Maha Seksama)
- Al Jami (Maha Pengumpul)
- Al Ghaniy (Yang Maha Kaya Dan Lengkap)
- Al Mughni (Maha Mengkayakan dan Memakmurkan)
- Al Mani (Maha Pencegah)
- Al Darr (Yang Mendatangkan Mudharat)
- Al Nafi (Yang Memberi Manfaat)
- Al Nur (Maha Bercahaya)
- Al Hadi (Yang Memimpin dan Memberi Pertunjuk)
- Al Badi (Maha Pencipta Yang Tiada BandinganNya)
- Al Baqi (Maha Kekal)
- Al Warith (Maha Mewarisi)
- Ar Rasyid (Yang Memimpin Kepada Kebenaran)
- As Sabur (Maha Penyabar)
Penjabaran Rukun Islam
1. Syahadat
Syahadat merupakan rukun Islam paling pertama. Sehingga membaca dua kalimat syahadat merupakan syarat utama apabila seseorang akan memasuki agama Islam. Kalimat syahadat tersebut adalah: “Assyadu’ala Ila Ha Ilallah Wa Assyadu’anna Muhammadarosulullah.” Artinya: Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Rukun Islam pertama ini merupakan ungkapan janji sebagai umat muslim, bahwa kita hanya mengakui adanya satu Tuhan yaitu Allah SwtT. Dengan demikian tentu saja kita tak boleh menduakan-Nya. Bukan hanya menduakan dengan berhala yang dahulu disembah oleh kaum kafir Quraisy, namun juga tak boleh menduakan-Nya dengan berbagai berhala yang kini melenggang di depan mata.
Syahadat merupakan rukun Islam paling pertama. Sehingga membaca dua kalimat syahadat merupakan syarat utama apabila seseorang akan memasuki agama Islam. Kalimat syahadat tersebut adalah: “Assyadu’ala Ila Ha Ilallah Wa Assyadu’anna Muhammadarosulullah.” Artinya: Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Rukun Islam pertama ini merupakan ungkapan janji sebagai umat muslim, bahwa kita hanya mengakui adanya satu Tuhan yaitu Allah SwtT. Dengan demikian tentu saja kita tak boleh menduakan-Nya. Bukan hanya menduakan dengan berhala yang dahulu disembah oleh kaum kafir Quraisy, namun juga tak boleh menduakan-Nya dengan berbagai berhala yang kini melenggang di depan mata.
Rukun Islam pertama juga berisi tentang pengakuan kita akan hadirnya Rasulullah Muhammad Saw sebagai rasul dan nabi terakhir di muka bumi ini. Muhammad Saw adalah utusan Allah yang menyampaikan Al-Qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup umat muslim di seluruh dunia, mulai dari zaman beliau hidup sampai akhir dunia nanti.
2. ShalatRukun Islam kedua yang harus dipenuhi umat muslim di seluruh dunia tanpa terkecuali adalah menunaikan salat. Salat wajib yang setiap hari harus dilaksanakan ada lima waktu, yaitu:
- Shalat Subuh sebanyak dua rakaat.
- Dzuhur sebanyak empat rakaat.
- Ashar sebanyak empat rakaat.
- Maghrib sebanyak tiga rakaat.
- Isya’ sebanyak empat rakaat.
Jadi di dalam rukun Islam yang kedua ini, kita dapati kewajiban melaksanakan salat sebanyak 17 rakaat, dilakukan pada waktu siang dan malam hari. Awalnya rukun Islam kedua ini diperintahkan Allah untuk menjalankan shalat 50 waktu sehari semalam. Namun, karena cinta Rasulullah kepada kita maka beliau memohon agar kewajiban shalat tersebut dipangkas menjadi 5 waktu saja.
3. Puasa
Puasa merupakan salah satu rukun Islam ketiga yang mewajibkan umat-Nya untuk menahan lapar, haus, dan segala hawa nafsu seperti kemarahan dan birahi. Puasa wajib dilakukan setiap bulan Ramadhan. Selain puasa, dalam bulan yang penuh berkah tersebut umat Islam menjalankan ibadah sunnah shalat tarawih juga.
Rukun Islam yang ketiga ini dilakukan pada siang hari, tata caranya adalah sebagai berikut:
Puasa merupakan salah satu rukun Islam ketiga yang mewajibkan umat-Nya untuk menahan lapar, haus, dan segala hawa nafsu seperti kemarahan dan birahi. Puasa wajib dilakukan setiap bulan Ramadhan. Selain puasa, dalam bulan yang penuh berkah tersebut umat Islam menjalankan ibadah sunnah shalat tarawih juga.
Rukun Islam yang ketiga ini dilakukan pada siang hari, tata caranya adalah sebagai berikut:
- Berniat puasa di malam haru sebelum terbit fajar
- Makan sahur dan mengakhiri makan dan minum apapun sebelum terbit fajar
- Menahan lapar, haus, dan nafsu lainnya selama terbit fajar sampai tenggelamnya matahari di waktu Maghrib
- Berbuka di waktu maghrib atau saat matahari telah tenggelam.
4. ZakatRukun Islam berikutnya adalah menunaikan zakat. Ada beberapa jenis zakat yang harus ditunaikan. Ada kewajiban mutlak bagi seluruh umat muslim yaitu zakat fitrah yang dibayarkan setiap tahun sekali sebelum hari raya Idhul Fitri.
Jumlah zakat fitrah yang harus dibayarkan setara dengan 2,5 kg beras atau uang yang sepadan dengan bahan pokok makanan kita. Dalam rukun Islam mengenai zakat ini, ada pula kewajiban membayarkan zakat maal yang terdiri dari zakat emas, properti, pertanian, perdagangan dan seluruh harta yang dimiliki oleh seseorang apabila telah mencapai nisab.
Nisabnya yaitu setelah harta tersebut dimiliki dalam waktu sama dengan atau lebih dari satu tahun hijriyah. Wajib dikeluarkan zakatnya apabila harta yang mengendap tersebut telah mencapai jumlah sama dengan atau lebih dari 70 gram emas. Rukun Islam ini mengajarkan umat muslim untuk selalu bersedekah dan peduli sesama.
Jumlah zakat fitrah yang harus dibayarkan setara dengan 2,5 kg beras atau uang yang sepadan dengan bahan pokok makanan kita. Dalam rukun Islam mengenai zakat ini, ada pula kewajiban membayarkan zakat maal yang terdiri dari zakat emas, properti, pertanian, perdagangan dan seluruh harta yang dimiliki oleh seseorang apabila telah mencapai nisab.
Nisabnya yaitu setelah harta tersebut dimiliki dalam waktu sama dengan atau lebih dari satu tahun hijriyah. Wajib dikeluarkan zakatnya apabila harta yang mengendap tersebut telah mencapai jumlah sama dengan atau lebih dari 70 gram emas. Rukun Islam ini mengajarkan umat muslim untuk selalu bersedekah dan peduli sesama.
5. Naik Haji (Bagi yang Mampu)
Rukun Islam kelima ini merupakan satu-satunya rukun Islam yang ditambahi dengan keterangan di belakangnya. Karena memang naik haji merupakan rukun Islam yang tidak semua orang mampu melakukannya. Di samping tempat pelaksanaannya yang jauh bagi penduduk di negara-negara di luar Arab Saudi, biayanyapun terhitung tinggi untuk kalangan tidak mampu.
Rukun Islam
Rukun Islam adalah Jika diibaratkan dengan sebuah rumah, rukun Islam merupakan tiang penyangga rumah, tiang penyangga agama. Kuat tidaknya penyangga bangunan keislaman seseorang akan berpengaruh pada kekokohan agama. Rukun islam sendiri terdiri atas lima perkara, yakni Bersyahadat, Mendirikan shalat, Menunaikan zakat, Berpuasa di Bulan Ramadhan, dan Naik haji bagi yang mampu.
Penjelasan 5 Rukun Islam itu sendiri adalah...
1. Bersyahadat
Rukun islam yang pertama adalah dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat, la ilaha ilallah, Muhammad da rosulullah. Aku berjanji tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah. Ya, dua kalimah syahadat itu adalah persetujuan seorang mukmin dengan Allah Swt.
Dengan persetujuan itu, berarti seorang mukmin telah siap untuk bertarung di jalan Allah Swt dan siap menghancurkan segala seuatu yang bertentangan dengan ilah dari Allah swt dalam setiap detik kehidupannya.
Dengan persetujuan itu, berarti seorang mukmin telah siap untuk bertarung di jalan Allah Swt dan siap menghancurkan segala seuatu yang bertentangan dengan ilah dari Allah swt dalam setiap detik kehidupannya.
2. Shalat
Mengapa seorang mukmin harus mengerjakan shalat lima waktu? Shalat adalah tiangnya agama, barang siapa yang tidak mengerjakan shalat bererti ia telah menghancurkan agamanya sendiri. Selain itu, shalat adalah jembatan antara seorang mukmin dengan Allah Swt untuk tetap berinteraksi.
Dengan mengerjakan shalat, seseorang akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Selain shalat wajib lima waktu, seorang mukmin pun bisa mengerjakan shalat sunat lainnya untuk mempererat ikatan batin dengan sang khaliq.
Mengapa seorang mukmin harus mengerjakan shalat lima waktu? Shalat adalah tiangnya agama, barang siapa yang tidak mengerjakan shalat bererti ia telah menghancurkan agamanya sendiri. Selain itu, shalat adalah jembatan antara seorang mukmin dengan Allah Swt untuk tetap berinteraksi.
Dengan mengerjakan shalat, seseorang akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Selain shalat wajib lima waktu, seorang mukmin pun bisa mengerjakan shalat sunat lainnya untuk mempererat ikatan batin dengan sang khaliq.
3. Zakat
Zakat adalah sarana berbagi dalam agama islam. Seseorang yang memiliki harta wajib membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan 2,5% dari besarnya harta yang dimiliki dan diberikan pada orang yang berhak menerimanya dari kalangan fakir miskin yang membutuhkan.
Zakat adalah sarana berbagi dalam agama islam. Seseorang yang memiliki harta wajib membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan 2,5% dari besarnya harta yang dimiliki dan diberikan pada orang yang berhak menerimanya dari kalangan fakir miskin yang membutuhkan.
4. Puasa Ramadhan
Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib. Puasa adalah sarana bagi seorang mukmin untuk dapat mengendalikan dirinya dari hawa nafsu dan kebiasaan jasmani lain seperti makan, minum, dan kebiasaan bergunjing.
Puasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib. Puasa adalah sarana bagi seorang mukmin untuk dapat mengendalikan dirinya dari hawa nafsu dan kebiasaan jasmani lain seperti makan, minum, dan kebiasaan bergunjing.
5. Ibadah Haji
Ibadah haji merupakan rukun islam terakhir yang wajib dikerjakan oleh setiap mukmin yang telah mampu. Mampu di sini bukan hanya dilihat dari kondisi fisik saja, melainkan dari segi finansial. Dengan demikian ibadah haji merupakan latihan bagi seorang mukmin dalam hal berkorban jiwa dan harta di jalan Allah Swt.
Ibadah haji merupakan rukun islam terakhir yang wajib dikerjakan oleh setiap mukmin yang telah mampu. Mampu di sini bukan hanya dilihat dari kondisi fisik saja, melainkan dari segi finansial. Dengan demikian ibadah haji merupakan latihan bagi seorang mukmin dalam hal berkorban jiwa dan harta di jalan Allah Swt.
Kisah Ulu al-Azmi
Nabi Nuh
Kualifikasi Nuh sebagai ulul azmi di antaranya karena kesabarannya dalam berdakwah dan mendapat hinaan dari kaumnya. Nuh tanpa menyerah terus menerus mendakwahi keluarga, kerabat dan masyarakat umum, untuk kembali kejalan yang lurus. Hampir 1000 tahun usianya jumlah umat yang mengikutinya tidak lebih dari 200 orang. Bahkan istri dan anaknya yang bernama Kan’an termasuk penentangnya. Atas kehendak Allah umat Nuh yang membangkang ditenggelamkan dengan gelombang air bah dan semuanya hancur, kecuali Nuh dan pengikutnya yang beriman.
Kualifikasi Nuh sebagai ulul azmi di antaranya karena kesabarannya dalam berdakwah dan mendapat hinaan dari kaumnya. Nuh tanpa menyerah terus menerus mendakwahi keluarga, kerabat dan masyarakat umum, untuk kembali kejalan yang lurus. Hampir 1000 tahun usianya jumlah umat yang mengikutinya tidak lebih dari 200 orang. Bahkan istri dan anaknya yang bernama Kan’an termasuk penentangnya. Atas kehendak Allah umat Nuh yang membangkang ditenggelamkan dengan gelombang air bah dan semuanya hancur, kecuali Nuh dan pengikutnya yang beriman.
Nabi Ibrahim
Sejak masih bayi Ibrahim harus diasingkan ke dalam gua, yang disebabkan oleh perintah Raja Namrudz untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir. Setelah dewasa, ia harus berhadapan dengan raja dan masyarakat penyembah berhala termasuk kedua orang tuanya yang pembuat berhala. Bahkan ia harus menerima siksaan yang pedih, yaitu dibakar hidup-hidup dan diusir dari kampung halamannya. Sudah hampir seratus tahun usia dan pernikahannya dengan Sarah, ia belum dikaruniai anak hingga istrinya meminta ia menikahi seorang budak berkulit hitam bernama Hajar untuk dijadikan istri. Akhirnya Hajar dapat melahirkan seorang anak yang diberi nama Ismail. Allah memerintahkan Ibrahim untuk “mengasingkan” istri dan anak yang baru lahir dan sangat dicintainya itu ke tanah gersang di Makkah. Karena kesabaran dan kepatuhannya, perintah itu dilaksanakan. Namun, perintah lebih berat diterima Ibrahim, yaitu harus mengorbankan Ismail yang baru beranjak remaja. Hal ini pun ia laksanakan, meskipun akhirnya yang disembelih adalah seekor domba. selain itu ujian Ibrahim yang lain adalah membangun Ka'bah, membersihkan ka'bah dari kemusyrikan, menghadapi Raja Namrudz yang zalim.
Sejak masih bayi Ibrahim harus diasingkan ke dalam gua, yang disebabkan oleh perintah Raja Namrudz untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir. Setelah dewasa, ia harus berhadapan dengan raja dan masyarakat penyembah berhala termasuk kedua orang tuanya yang pembuat berhala. Bahkan ia harus menerima siksaan yang pedih, yaitu dibakar hidup-hidup dan diusir dari kampung halamannya. Sudah hampir seratus tahun usia dan pernikahannya dengan Sarah, ia belum dikaruniai anak hingga istrinya meminta ia menikahi seorang budak berkulit hitam bernama Hajar untuk dijadikan istri. Akhirnya Hajar dapat melahirkan seorang anak yang diberi nama Ismail. Allah memerintahkan Ibrahim untuk “mengasingkan” istri dan anak yang baru lahir dan sangat dicintainya itu ke tanah gersang di Makkah. Karena kesabaran dan kepatuhannya, perintah itu dilaksanakan. Namun, perintah lebih berat diterima Ibrahim, yaitu harus mengorbankan Ismail yang baru beranjak remaja. Hal ini pun ia laksanakan, meskipun akhirnya yang disembelih adalah seekor domba. selain itu ujian Ibrahim yang lain adalah membangun Ka'bah, membersihkan ka'bah dari kemusyrikan, menghadapi Raja Namrudz yang zalim.
Nabi Musa
Musa termasuk orang sabar dalam menghadapi dan mendakwahi Firaun, selain itu, dia juga mampu untuk bersabar dalam memimpin kaumnya yang sangat pembangkang. Ketika Musa akan menerima wahyu di Bukit Sinai, pengikutnya yang dipimpin Samiri menyeleweng dengan menyembah berhala Anak lembu emas. Harun yang ditugasi mengganti peran Musa, tidak sanggup untuk menghalangi niat mereka, bahkan ia diancam hendak dibunuh. Tetapi, Musa pernah tidak dapat bersabar ketika berguru kepada Khidir.
Musa termasuk orang sabar dalam menghadapi dan mendakwahi Firaun, selain itu, dia juga mampu untuk bersabar dalam memimpin kaumnya yang sangat pembangkang. Ketika Musa akan menerima wahyu di Bukit Sinai, pengikutnya yang dipimpin Samiri menyeleweng dengan menyembah berhala Anak lembu emas. Harun yang ditugasi mengganti peran Musa, tidak sanggup untuk menghalangi niat mereka, bahkan ia diancam hendak dibunuh. Tetapi, Musa pernah tidak dapat bersabar ketika berguru kepada Khidir.
Nabi Isa
Banyak hal yang menunjukkan bahwa Isa memiliki kesabaran dan keteguhan dalam menyampaikan ajaran Allah. Terutama, ketika Isa sabar menerima cobaan sebagai seorang yang miskin, pengkhianatan seorang muridnya, Yudas Iskariot, menghadapi fitnah, penolakan, hendak diusir dan dibunuh oleh kaum Bani Israil. Kehidupan Isa menggambarkan kezuhudan dan ketaatan dalam beribadah.
“Isa menemui kaumnya dengan memakai pakaian dari wol. Ia keluar dalam keadaan tidak beralas kaki sambil menangis serta wajahnya tampak pucat karena kelaparan dan bibirnya tampak kering karena kehausan. Isa berkata, “Salam kepada kalian wahai Bani Israil. Aku adalah seseorang yang meletakkan dunia di tempatnya sesuai dengan izin Allah, tanpa bermaksud membanggakan diri. Apakah kalian mengetahui di mana rumahku?” Mereka menjawab: "Di mana rumahmu wahai Ruhullah?" Isa menjawab: “Rumahku adalah tempat ibadah, wewangianku adalah air, makananku adalah rasa lapar, pelitaku adalah bulan di waktu malam dan salat ku di waktu musim dingin di saat matahari terletak di Timur, bungaku adalah tanaman-tanaman bumi, pakaianku terbuat dari wol, syiarku adalah takut kepada Tuhan Yang Maha Mulia, teman-temanku adalah orang-orang yang fakir, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang miskin. Aku memasuki waktu pagi dan aku tidak mendapati sesuatu pun di rumahku begitu juga aku memasuki waktu sore dan aku tidak menemukan sesuatu pun di rumahku. Aku adalah seseorang yang jiwanya bersih dan tidak tercemar. Maka siapakah yang lebih kaya daripada aku?
Banyak hal yang menunjukkan bahwa Isa memiliki kesabaran dan keteguhan dalam menyampaikan ajaran Allah. Terutama, ketika Isa sabar menerima cobaan sebagai seorang yang miskin, pengkhianatan seorang muridnya, Yudas Iskariot, menghadapi fitnah, penolakan, hendak diusir dan dibunuh oleh kaum Bani Israil. Kehidupan Isa menggambarkan kezuhudan dan ketaatan dalam beribadah.
“Isa menemui kaumnya dengan memakai pakaian dari wol. Ia keluar dalam keadaan tidak beralas kaki sambil menangis serta wajahnya tampak pucat karena kelaparan dan bibirnya tampak kering karena kehausan. Isa berkata, “Salam kepada kalian wahai Bani Israil. Aku adalah seseorang yang meletakkan dunia di tempatnya sesuai dengan izin Allah, tanpa bermaksud membanggakan diri. Apakah kalian mengetahui di mana rumahku?” Mereka menjawab: "Di mana rumahmu wahai Ruhullah?" Isa menjawab: “Rumahku adalah tempat ibadah, wewangianku adalah air, makananku adalah rasa lapar, pelitaku adalah bulan di waktu malam dan salat ku di waktu musim dingin di saat matahari terletak di Timur, bungaku adalah tanaman-tanaman bumi, pakaianku terbuat dari wol, syiarku adalah takut kepada Tuhan Yang Maha Mulia, teman-temanku adalah orang-orang yang fakir, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang miskin. Aku memasuki waktu pagi dan aku tidak mendapati sesuatu pun di rumahku begitu juga aku memasuki waktu sore dan aku tidak menemukan sesuatu pun di rumahku. Aku adalah seseorang yang jiwanya bersih dan tidak tercemar. Maka siapakah yang lebih kaya daripada aku?
Nabi Muhammad
Sejak kecil sampai dewasa, Muhammad selalu mengalami masa-masa sulit. Pada usia 6 tahun dia sudah menjadi yatim piatu. Setelah dewasa ia harus membantu meringankan beban paman Abu Thalib yang merawatnya sejak kecil.
Tantangan terberat yang dihadapi adalah setelah diangkatnya menjadi seorang rasul. Penentangan bukan saja dari orang lain, tetapi juga dari Abu Lahab, pamannya sendiri. Muhammad juga harus ikut menderita tatkala Bani Hasyim diboikot (diasingkan) di sebuah lembah dikarenakan dakwahnya.
Tokoh-tokoh Quraisy mempelopori pemboikotan tersebut yang isinya antara lain melarang berhubungan jual beli, pernikahan, dan hubungan sosial lainya kepada Bani Hasyim. Pemboikotan yang berjalan sekitar 3 tahun itu dan telah menghabiskan hartanya dan istrinya, Siti Khadijah.
Sejak kecil sampai dewasa, Muhammad selalu mengalami masa-masa sulit. Pada usia 6 tahun dia sudah menjadi yatim piatu. Setelah dewasa ia harus membantu meringankan beban paman Abu Thalib yang merawatnya sejak kecil.
Tantangan terberat yang dihadapi adalah setelah diangkatnya menjadi seorang rasul. Penentangan bukan saja dari orang lain, tetapi juga dari Abu Lahab, pamannya sendiri. Muhammad juga harus ikut menderita tatkala Bani Hasyim diboikot (diasingkan) di sebuah lembah dikarenakan dakwahnya.
Tokoh-tokoh Quraisy mempelopori pemboikotan tersebut yang isinya antara lain melarang berhubungan jual beli, pernikahan, dan hubungan sosial lainya kepada Bani Hasyim. Pemboikotan yang berjalan sekitar 3 tahun itu dan telah menghabiskan hartanya dan istrinya, Siti Khadijah.
Ulul Azmi
Ulu al-Azmi adalah gelar yang diberikan kepada para rasul yang memiliki kedudukan tinggi/ istimewa karena ketabahan dan kesabaran yang luar biasa, dalam menyebarkan agama.
Hanya lima rasul yang mendapatkan julukan ini, dari beberapa rasul yang telah diutus oleh Allah. Gelar ini adalah gelar tertinggi/istimewa ditingkat para nabi dan rasul. Tentang gelar ini telah dijelaskan pada Al-Qur'an Surah Al-Ahqaf ayat 35 dan Surah Asy-Syura ayat 13.
Para Rasul yang memiliki julukan Ulul Azmi adalah:
1. Nuh
2. Ibrahim
3. Musa
4. Isa
5. Muhammad (SAW)
Ada beberapa kriteria yang menjadi acuan untuk mendapatkan gelar ini, di antara lain adalah:
Hanya lima rasul yang mendapatkan julukan ini, dari beberapa rasul yang telah diutus oleh Allah. Gelar ini adalah gelar tertinggi/istimewa ditingkat para nabi dan rasul. Tentang gelar ini telah dijelaskan pada Al-Qur'an Surah Al-Ahqaf ayat 35 dan Surah Asy-Syura ayat 13.
Para Rasul yang memiliki julukan Ulul Azmi adalah:
1. Nuh
2. Ibrahim
3. Musa
4. Isa
5. Muhammad (SAW)
Ada beberapa kriteria yang menjadi acuan untuk mendapatkan gelar ini, di antara lain adalah:
- Memiliki kesabaran yang tinggi ketika berdakwah
- Senantiasa memohon kepada Allah agar tidak menurunkan azab kepada kaumnya
- Senantiasa berdoa agar Allah memberi hidayah kepada kaum mereka
Kekuasaan Khalifah
"Siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat Islam saat itu; mereka juga perlu mengklarifikasi seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Muhammad, selama masa hidupnya, tidak hanya berperan sebagai pemimpin umat islam, tetapi sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk umat Islam. Semua hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad. Musyawarah dilakukan pada persoalan ini untuk menentukan seberapa besar kekuasaan seorang Khalifah.
Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah, karena Nabi Muhammad adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai nabī atau rasul. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan kekuasaannya pun dibatasi oleh Al-Qur'an dan Hadis.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.[rujukan?] Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama.[rujukan?] Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai Khulafa'ur Rosyidin, Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.
Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah, karena Nabi Muhammad adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai nabī atau rasul. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan kekuasaannya pun dibatasi oleh Al-Qur'an dan Hadis.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.[rujukan?] Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama.[rujukan?] Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai Khulafa'ur Rosyidin, Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.
Struktur Pemerintahan Negara Khilafah
Struktur
pemerintahan Islam terdiri daripada 8 perangkat dan berdasarkan af’al
(perbuatan) Rasulullah saw:
1.
Khalifah
Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan
membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi);
Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri;
panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai;
mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak
atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara.
2.
Mu'awin
Tafwidh
Merupakan pembantu Khalifah dibidang
kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat
undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib
mengawalnya.
3.
Mu'awin
Tanfidz
Pembantu Khalifah dibidang administrasi
tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah
dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia
merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya.
4.
Amirul
Jihad
Amirul Jihad membawahi bidang
pertahanan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.
5.
Wali
Wali merupakan penguasa suatu wilayah
(gubernur). Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan
pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya tetapi tidak
mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.
6.
Qadi
Qadi merupakan badan peradilan, terdiri
dari 2 badan: Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara
rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta
Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa
dan rakyat dan berhak memberhentikan semua pegawai negara, termasuk
memberhentikan Khalifah jika dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
7.
Jihaz
Idari
Pegawai administrasi yang mengatur
kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan
Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan,
kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan
pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya.
8.
Majelis
Umma
Majelis Ummat dipilih oleh rakyat,
mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majelis bertugas
mengawasi Khalifah. Majelis juga berhak memberikan pendapat dalam pemilihan
calon Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah,
tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.
Langganan:
Postingan (Atom)